Sunday, November 22, 2015

Guru Mapan Juga Pahlawan

Sosok seorang guru mapan di meja kerjanya. Swiss German University. November 2015

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, begitu orang-orang berkata. Terdengar tulus memang. Terdengar positif memang. Namun entah mengapa orang-orang analogikan sosok guru yang layak menjadi pahlawan adalah seorang tokoh yang harus banyak memberi, namun sedikit menerima secara materi, mereka adalah sosok yang selalu diidentikan dengan kesengsaraan, ketidakmapanan dan kemiskinan. Pemikiran yang sesungguhnya sangat diskriminatif dan melecehkan makna sosok seorang guru dan pahlawan itu sendiri. Pemikiran yang sangat matrealistis namun dari cermin terbalik, sehingga lebih terlihat seperti sebuah pelarian dan aktualisasi sombong dari sikap anti akan kemapanan.

Saat anda berpikir tentang sosok guru yang layak masuk kategori pahlawan adalah seorang sosok yang sudah berjuang banyak namun tidak menerima imbalan yang pantas, maka anda sesungguhnya sudah masuk ke dalam kategori orang-orang yang telah di jelaskan di atas. Orang-orang yang secara sombong ingin terlihat perduli, namun disaat yang bersamaan telah berlaku diskriminatif terhadap para guru yang sudah berjuang dengan tulus namun mapan dan mendapatkan imbalan yang pantas.

Menghargai para guru yang telah banyak berjuang di dunia pendidikan namun tidak menerima imbalan yang pantas sebagai sosok pahlawan merupakan hal yang baik, namun bukan berarti para guru yang menerima gaji besar, mapan dan berkecukupan perlu dipandang berbeda. Profesi agung seorang guru yang dengan tulus berhasrat untuk mendidik dan membentuk para muridnya agar kelak bisa menjadi manusia yang lebih baik secara menyeluruh adalah sebuah dimensi pandangan yang perlu dipisahkan dari dimensi pandangan imbalan yang mereka terima. Mengkorelasikan dan menyandingkan dimensi pandang keagungan profesi guru dengan  dimensi pandang imbalan yang didapat adalah sesuatu yang melecehkan sosok guru dan juga sosok pahlawan, serta terkesan sangat diskriminatif terhadap kemapanan. 

Bapak Irvan Kartawiria sedang bekerja di laboratorium Bioproses. Swiss German University. November 2015.

Foto di atas merupakan sosok seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, Swiss German University. Sosok tersebut adalah Bapak Irvan Kartawiria. Sosok yang meniggalkan kenyamanan sebagai karyawan sukses di dunia industri, demi menggapai hasrat dan cita-citanya untuk menjadi seorang pendidik. Namun bukan hal ini yang menjadi dasar mengapa sosok ini menjadi spesial, karena di perguruan tinggi yang dia pilih untuk mengabdi tetap memberikan dia kemapanan secara materi. Hasrat, ketulusan dan totalitas yang dia berikan untuk membentuk dan memposisikan dirinya sebagai seorang pendidik lah yang membuat dia menjadi spesial.

Bapak Irvan kartawiria adalah seorang ahli bioproses. Menyelesaikan pendidikan di Australia tidak membuat dia melupakan mimpi besarnya untuk menjadi seorang pendidik di Negara tercintanya Indonesia. Di dalam benaknya, ada beberapa pilihan jalan yang bisa dipilih bila dia kelak ingin mengabdikan diri di dunia pendidikan Indonesia. Pilihan untuk melepaskan kemapananan dan mengabdikan diri sebagai pendidik di daerah-daerah pelosok sempat terpikirkan, seperti pemikiran para anak muda lain pada umumnya, dengan memilih jalan tersebut terkesan memperlihatkan betapa “perduli” nya dia terhadap dunia pendidikan. Namun dia memilih jalan yang berbeda, tapi tetap dengan dasar pertimbangan yang matang. Dia memilih jalan untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan tinggi sebagai dosen, dan dia memutuskan untuk memilih mendidik di perguruan tinggi dengan murid yang berasal dari kelas menengah ke atas.

Di dalam pemikirannya, bila mayoritas orang-orang yang tulus dan berdedikasi terhadap dunia pendidikan lebih memilih untuk mendidik kalangan daerah dan kalangan menengah ke bawah, lalu siapa yang akan mendidik mereka-mereka yang ada di perkotaan dan di kalangan menengah atas untuk kelak menjadi seseorang yang berilmu, sukses namun tetap perduli dengan sekitar serta bermoral baik? Bila itu yang terjadi, maka kelak para kalangan perkotaan dan kalangan menengah atas tidak akan pernah punya kesempatan membentuk dirinya menjadi manusia yang lebih baik seutuhnya. Hingga akhirnya hanya akan menghasilkan generasi-generasi yang pintar dan sukses namun minim moral dan kepedulian. 

Sosok Bapak Irvan Kartawiria bersama para murid. Swiss German University. November 2015.

Meskipun dia seorang dosen, dia merupakan sosok yang lebih suka menempatkan dirinya sebagai teman bagi para murid-muridnya. Dia memiliki pemikiran bahwa apa yang ingin dia ajarkan dan sampaikan kepada murid akan lebih terserap bila dia memposisikan dirinya sebagai teman. Maka dia selalu berusaha menyempatkan diri agar bisa berinteraksi dengan para murid di lingkungan-lingkungan non akademis dan jauh dari kesan formal serta kaku.

Sosok yang hangat dan ceria ini sangat suka meluangkan waktunya untuk ikut berkumpul bersama para murid dalam suasana santai, untuk sekedar berbincang ringan namun disisipi petuah-petuah penting yang secara efektif masuk dan membentuk karakter-karakter dari para murid. Karena menurut dia, pendidikan dan pembinaan harus dilakukan secra menyeluruh, tidak hanya terkait hal-hal akademis namun juga hal-hal non akademis.

Sosok ini benar-benar berlawanan dengan karakter umum dari para dosen yang biasanya memposisikan diri sebagai profil yang sibuk, sulit diakses, kaku, berbicara sok tinggi dan terkesan berjarak. Berbeda dengan dosen pada umumnya, dia tidak berpikiran bahwa dosen yang sukses, baik dan hebat adalah sosok yang selalu sibuk dengan hal-hal akademis, berkutat dengan buku dan teori, serta terkurung dalam berbagai proyek penelitian, namun sedikit berinteraksi lebih dalam dengan para murid, dan berkesempatan membentuk karakter para murid dari interaksi yang terjadi.

Dia selalu berpikir bahwa mendidik otak dari para murid hanya merupakan bagian kecil dari tugas seorang pendidik, karena bagian yang lebih besar adalah mendidik karakter, mental, dan hati dari para murid. Dan hal tersebut tidak bisa hanya dilakukan dan diberikan di dalam ruang kelas atau laboratorium, dan juga tidak bisa diberikan hanya di dalam lingkungan kegiatan akademis.

Sosok Bapak Irvan Kartawiria sedang mempersiapkan materi stand up comedy. Swiss German University. November 2015.
.

Salah satu media yang dia gunakan dalam mendidik para muridnya adalah dunia Stand up Comedy. Meski memiliki berbagai kesibukan, dia menyempatkan diri untuk menggeluti dunia stand up comedy. Pak Irvan memilih dunia stand up comedy bukanlah tanpa alasan, dia ingin menunjukan kepada semua orang dan khususnya kepada para muridnya bahwa dengan dispilin dan ketulusan yang tinggi maka dalam hidup, kita harus dan dapat melakukan keseimbangan hidup. Belajar itu bagus, bekerja juga bagus, tapi bukan berarti kita harus membunuh waktu di kehidupan kita hanya dengan hal-hal tersebut. Kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya penyeimbang juga perlu dilakukan demi mendapatkan kehidupan yang sukses namun tidak semu. Dan dia menunjukan bahwa ke dua hal tersebut bisa dilakukan dan bersandingan dengan baik tanpa harus merusak atau merugikan satu sama lain.

Pak Irvan memilih sains sebagai karakter dari materi dari semua aksi panggung stand up comedy nya. Sebuah tema yang tidak lazim untuk bersandingan, sains dan komedi. Namun dia ingin menunjukan sisi lain dari sains, sehingga orang-orang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap sains, tidak hanya sudut pandang yang menganggap sains itu sulit, kaku dan tidak menarik. Dia ingin menunjukan kepada semua orang bahwa di balik penampakan yang menjelimet, sains memiliki sisi-sisi yang lucu dan menarik.

Scientiae Comedium merupakan nama aksi panggung tunggal tahunan yang dia buat, yang berisi materi-materi sains dari sudut pandang komedi. Pada tanggal 28 November 2015 merupakan pementasan tahun ke dua dari Scientiae Comedium, dan mungkin dia adalah satu-satunya sosok di Indonesia yang berani konsisten di dunia stand up comedy dengan mengusung tema sains.

Sosok Bapak Irvan Kartawiria bersama pedang kayu miliknya. Swiss German University. November 2015.

Media lain yang dia gunakan untuk mendidik para muridnya adalah dunia olahraga. Dia membentuk kegiatan Kendo di lingkungan kampus. Kegiatan cuma-cuma tersebut dia dirikan sebagai bentuk interaksi dalam mendidik dan menanamkan jiwa sportivitas pada diri para murid. Menurut dia, jiwa sprotivitas sangat penting untuk ditanamkan di dalam diri para generasi muda. Dan sangat sulit menanamkan dan mendidik jiwa sportivitas di dalam diri para murid bila interaksi hanya dilakukan di dalam kelas atau laboratorium.

Para murid, khususnya para mahasiswa menghabiskan sebagian besar waktunya di lingkungan kampus, dan artinya di masa perkembangan mental dan karakternya para mahasiswa sangat bergantung pada apa yang bisa dia serap dan apa yang bisa dia terima di lingkungan kampus. Hal itulah yang mendasari Pak Irvan untuk meluangkan waktu berinteraksi lebih banyak dengan para muridnya di berbagai bidang, termasuk bidang olahraga.

Pak Irvan selalu mensisipkan petuah-petuah khasnya yang ringan namun bermanfaat di sela-sela latihan Kendo. Meski dia merupakan orang yang humoris, tapi jangan ragukan kedisiplinan dan ketegasan dia saat melatih Kendo. Namun meski disiplin dan tegas saat melatih, itu tidak berarti dia tidak bisa membuat suasana latihan menjadi suasana yang menyenangkan.

Pak Irvan memang bukan sosok guru yang menderita, bukan pula sosok guru yang menerima upah kecil, serta bukan sosok guru yang hidup miskin dan anti kemapanan. Pak Irvan mengabdikan diri di dunia pendidikan yang tetap bisa memberi kemapanan finansial kepada dia. Namun apakah hal itu menyebabkan Pak Irvan kehilangan kesempatan menjadi sosok guru yang layak diposisikan sebagai pahlawan? Saya rasa tidak, sosok kepahlawanan seorang guru melewati batas dimensi materi dan uang, sosok kepahlawanan seorang guru memiliki dimensi yang jauh lebih agung dari sekedar dimensi materi, uang dan imbalan. Ketulusan dan dedikasi yang berikan kepada dunia pendidikan demi menciptakan generasi-generasi masa depan, membuat seorang guru layak menyandang gelar pahlawan, tanpa perlu kita singgung apakah dia mapan atau miskin, apakah dia mendapatkan imbalan yang setimpal atau imbalan yang seadanya, apakah dia menderita atau dia bahagia.

Bapak Irvan hanyalah salah satu contoh dari guru yang memang mapan secara upah, namun tetap layak dianggap sebagi pahlawan karena ketulusan dan dedikasihnya untuk dunia pendidikan.