Sosok seorang guru mapan di meja kerjanya. Swiss German University. November 2015 |
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, begitu orang-orang
berkata. Terdengar tulus memang. Terdengar positif memang. Namun entah mengapa
orang-orang analogikan sosok guru yang layak menjadi pahlawan adalah seorang
tokoh yang harus banyak memberi, namun sedikit menerima secara materi, mereka adalah
sosok yang selalu diidentikan dengan kesengsaraan, ketidakmapanan dan
kemiskinan. Pemikiran yang sesungguhnya sangat diskriminatif dan melecehkan
makna sosok seorang guru dan pahlawan itu sendiri. Pemikiran yang sangat
matrealistis namun dari cermin terbalik, sehingga lebih terlihat seperti sebuah
pelarian dan aktualisasi sombong dari sikap anti akan kemapanan.
Saat anda berpikir tentang sosok guru yang layak masuk
kategori pahlawan adalah seorang sosok yang sudah berjuang banyak namun tidak
menerima imbalan yang pantas, maka anda sesungguhnya sudah masuk ke dalam kategori
orang-orang yang telah di jelaskan di atas. Orang-orang yang secara sombong
ingin terlihat perduli, namun disaat yang bersamaan telah berlaku diskriminatif
terhadap para guru yang sudah berjuang dengan tulus namun mapan dan
mendapatkan imbalan yang pantas.
Menghargai para guru yang telah
banyak berjuang di dunia pendidikan namun tidak menerima imbalan yang pantas
sebagai sosok pahlawan merupakan hal yang baik, namun bukan berarti para guru
yang menerima gaji besar, mapan dan berkecukupan perlu dipandang berbeda.
Profesi agung seorang guru yang dengan tulus berhasrat untuk mendidik dan
membentuk para muridnya agar kelak bisa menjadi manusia yang lebih baik secara
menyeluruh adalah sebuah dimensi pandangan yang perlu dipisahkan dari dimensi
pandangan imbalan yang mereka terima. Mengkorelasikan dan menyandingkan dimensi
pandang keagungan profesi guru dengan
dimensi pandang imbalan yang didapat adalah sesuatu yang melecehkan sosok
guru dan juga sosok pahlawan, serta terkesan sangat diskriminatif terhadap kemapanan.
Bapak Irvan Kartawiria sedang bekerja di laboratorium Bioproses. Swiss German University. November 2015. |
Foto di atas merupakan sosok seorang dosen di sebuah
perguruan tinggi swasta, Swiss German University. Sosok tersebut adalah Bapak
Irvan Kartawiria. Sosok yang meniggalkan kenyamanan sebagai karyawan sukses di
dunia industri, demi menggapai hasrat dan cita-citanya untuk menjadi seorang
pendidik. Namun bukan hal ini yang menjadi dasar mengapa sosok ini menjadi
spesial, karena di perguruan tinggi yang dia pilih untuk mengabdi tetap
memberikan dia kemapanan secara materi. Hasrat, ketulusan dan totalitas yang
dia berikan untuk membentuk dan memposisikan dirinya sebagai seorang pendidik
lah yang membuat dia menjadi spesial.
Bapak Irvan kartawiria adalah seorang ahli bioproses.
Menyelesaikan pendidikan di Australia tidak membuat dia melupakan mimpi
besarnya untuk menjadi seorang pendidik di Negara tercintanya Indonesia. Di
dalam benaknya, ada beberapa pilihan jalan yang bisa dipilih bila dia kelak
ingin mengabdikan diri di dunia pendidikan Indonesia. Pilihan untuk melepaskan kemapananan
dan mengabdikan diri sebagai pendidik di daerah-daerah pelosok sempat
terpikirkan, seperti pemikiran para anak muda lain pada umumnya, dengan memilih jalan tersebut terkesan memperlihatkan betapa “perduli” nya dia terhadap dunia pendidikan. Namun dia
memilih jalan yang berbeda, tapi tetap dengan dasar pertimbangan yang matang. Dia
memilih jalan untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan tinggi sebagai dosen,
dan dia memutuskan untuk memilih mendidik di perguruan tinggi dengan murid yang
berasal dari kelas menengah ke atas.
Di dalam pemikirannya, bila mayoritas
orang-orang yang tulus dan berdedikasi terhadap dunia pendidikan lebih memilih
untuk mendidik kalangan daerah dan kalangan menengah ke bawah, lalu siapa yang
akan mendidik mereka-mereka yang ada di perkotaan dan di kalangan menengah atas
untuk kelak menjadi seseorang yang berilmu, sukses namun tetap perduli dengan
sekitar serta bermoral baik? Bila itu yang terjadi, maka kelak para kalangan
perkotaan dan kalangan menengah atas tidak akan pernah punya kesempatan
membentuk dirinya menjadi manusia yang lebih baik seutuhnya. Hingga akhirnya
hanya akan menghasilkan generasi-generasi yang pintar dan sukses namun minim
moral dan kepedulian.
Sosok Bapak Irvan Kartawiria bersama para murid. Swiss German University. November 2015. |
Meskipun dia seorang dosen, dia merupakan sosok yang
lebih suka menempatkan dirinya sebagai teman bagi para murid-muridnya. Dia
memiliki pemikiran bahwa apa yang ingin dia ajarkan dan sampaikan kepada murid
akan lebih terserap bila dia memposisikan dirinya sebagai teman. Maka dia
selalu berusaha menyempatkan diri agar bisa berinteraksi dengan para murid di
lingkungan-lingkungan non akademis dan jauh dari kesan formal serta kaku.
Sosok yang hangat dan ceria ini sangat suka meluangkan waktunya
untuk ikut berkumpul bersama para murid dalam suasana santai, untuk sekedar
berbincang ringan namun disisipi petuah-petuah penting yang secara efektif
masuk dan membentuk karakter-karakter dari para murid. Karena menurut dia,
pendidikan dan pembinaan harus dilakukan secra menyeluruh, tidak hanya terkait
hal-hal akademis namun juga hal-hal non akademis.
Sosok ini benar-benar berlawanan dengan karakter umum dari
para dosen yang biasanya memposisikan diri sebagai profil yang sibuk, sulit
diakses, kaku, berbicara sok tinggi dan terkesan berjarak. Berbeda dengan dosen
pada umumnya, dia tidak berpikiran bahwa dosen yang sukses, baik dan hebat adalah
sosok yang selalu sibuk dengan hal-hal akademis, berkutat dengan buku dan teori, serta terkurung dalam berbagai proyek penelitian,
namun sedikit berinteraksi lebih dalam dengan para murid, dan berkesempatan membentuk karakter para murid dari interaksi yang terjadi.
Dia selalu berpikir bahwa
mendidik otak dari para murid hanya merupakan bagian kecil dari tugas seorang
pendidik, karena bagian yang lebih besar adalah mendidik karakter, mental, dan
hati dari para murid. Dan hal tersebut tidak bisa hanya dilakukan dan diberikan
di dalam ruang kelas atau laboratorium, dan juga tidak bisa diberikan hanya di dalam
lingkungan kegiatan akademis.
Sosok Bapak Irvan Kartawiria sedang mempersiapkan materi stand up comedy. Swiss German University. November 2015. |
.
Salah satu media yang dia gunakan dalam mendidik para muridnya
adalah dunia Stand up Comedy. Meski memiliki berbagai kesibukan, dia
menyempatkan diri untuk menggeluti dunia stand up comedy. Pak Irvan memilih
dunia stand up comedy bukanlah tanpa alasan, dia ingin menunjukan kepada semua orang
dan khususnya kepada para muridnya bahwa dengan dispilin dan ketulusan yang
tinggi maka dalam hidup, kita harus dan dapat melakukan keseimbangan hidup. Belajar itu bagus,
bekerja juga bagus, tapi bukan berarti kita harus membunuh waktu di kehidupan
kita hanya dengan hal-hal tersebut. Kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya
penyeimbang juga perlu dilakukan demi mendapatkan kehidupan yang sukses namun
tidak semu. Dan dia menunjukan bahwa ke dua hal tersebut bisa dilakukan dan
bersandingan dengan baik tanpa harus merusak atau merugikan satu sama lain.
Pak Irvan memilih sains sebagai karakter dari materi dari
semua aksi panggung stand up comedy nya. Sebuah tema yang tidak lazim untuk
bersandingan, sains dan komedi. Namun dia ingin menunjukan sisi lain dari
sains, sehingga orang-orang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap sains, tidak hanya sudut pandang yang menganggap sains itu sulit, kaku dan
tidak menarik. Dia ingin menunjukan kepada semua orang bahwa di balik penampakan
yang menjelimet, sains memiliki sisi-sisi yang lucu dan menarik.
Scientiae Comedium merupakan
nama aksi panggung tunggal tahunan yang dia buat, yang berisi materi-materi
sains dari sudut pandang komedi. Pada tanggal 28 November 2015 merupakan
pementasan tahun ke dua dari Scientiae Comedium, dan mungkin dia adalah
satu-satunya sosok di Indonesia yang berani konsisten di dunia stand up comedy dengan
mengusung tema sains.
Sosok Bapak Irvan Kartawiria bersama pedang kayu miliknya. Swiss German University. November 2015. |
Media lain yang dia gunakan untuk mendidik para muridnya
adalah dunia olahraga. Dia membentuk kegiatan Kendo di lingkungan kampus.
Kegiatan cuma-cuma tersebut dia dirikan sebagai bentuk interaksi dalam
mendidik dan menanamkan jiwa sportivitas pada diri para murid. Menurut dia,
jiwa sprotivitas sangat penting untuk ditanamkan di dalam diri para generasi
muda. Dan sangat sulit menanamkan dan mendidik jiwa sportivitas di dalam diri
para murid bila interaksi hanya dilakukan di dalam kelas atau laboratorium.
Para murid, khususnya para mahasiswa menghabiskan sebagian
besar waktunya di lingkungan kampus, dan artinya di masa perkembangan mental
dan karakternya para mahasiswa sangat bergantung pada apa yang bisa dia serap
dan apa yang bisa dia terima di lingkungan kampus. Hal itulah yang mendasari
Pak Irvan untuk meluangkan waktu berinteraksi lebih banyak dengan para muridnya
di berbagai bidang, termasuk bidang olahraga.
Pak Irvan selalu mensisipkan petuah-petuah khasnya yang
ringan namun bermanfaat di sela-sela latihan Kendo. Meski dia merupakan orang yang humoris, tapi jangan ragukan kedisiplinan
dan ketegasan dia saat melatih Kendo. Namun meski disiplin dan tegas saat melatih, itu tidak berarti dia tidak bisa membuat suasana latihan menjadi
suasana yang menyenangkan.
Pak Irvan memang bukan sosok guru yang menderita, bukan pula sosok guru
yang menerima upah kecil, serta bukan sosok guru yang hidup miskin dan anti kemapanan. Pak
Irvan mengabdikan diri di dunia pendidikan yang tetap bisa memberi kemapanan finansial kepada dia. Namun apakah hal itu menyebabkan Pak Irvan kehilangan kesempatan
menjadi sosok guru yang layak diposisikan sebagai pahlawan? Saya rasa tidak,
sosok kepahlawanan seorang guru melewati batas dimensi materi dan uang, sosok
kepahlawanan seorang guru memiliki dimensi yang jauh lebih agung dari sekedar
dimensi materi, uang dan imbalan. Ketulusan dan dedikasi yang berikan kepada
dunia pendidikan demi menciptakan generasi-generasi masa depan, membuat seorang
guru layak menyandang gelar pahlawan, tanpa perlu kita singgung apakah dia
mapan atau miskin, apakah dia mendapatkan imbalan yang setimpal atau imbalan
yang seadanya, apakah dia menderita atau dia bahagia.
Bapak Irvan hanyalah salah satu contoh dari guru yang memang
mapan secara upah, namun tetap layak dianggap sebagi pahlawan karena ketulusan
dan dedikasihnya untuk dunia pendidikan.